Matahari belum menampakan sinarnya. Selesai shalat subuh, aku membantu ibu menata
kue. Kue yang kami tata akan aku bawa ke sekolah. Setelah selesai menata kue,
aku mandi, mengecek buku, dan mengisi air di botol minumku. Meskipun keluargaku
hidup sederhana, tetapi kami selalu sarapan bersama. Tak hanya sarapan,
terkadang kami makan malam bersama. Di rumah, aku tinggal bersama bapak, ibu,
dan adikku. Setelah sarapan aku dan adikku pamit kepada bapak dan ibu. Tak lupa
aku membawa kotak yang berisi kue.
“Assalamu’alaikum.” Pamitku dan adikku kepada bapak dan
ibu.
“Waalaikummussalam.” Jawab bapak dan ibuku.
Aku dan adikku selalu berangkat sekolah bersama. Sekarang
aku kelas 4 SD sedangkan adikku kelas 1 SD. Kita berdua selalu akur meskipun terkadang
sering berebut makanan. Sekolah kami tidak terlalu jauh dari rumah. Setiap
berangkat sekolah kami selalu berhenti sejenak di tepi sungai. Di sungai, kami
selalu melihat ikan dengan ukuran dan jenis yang berbeda. Hidup di pedesaan
sangatlah menyenangkan, selain sungai, kami juga dapat melihat pemandangan yang
sangat indah.
Setelah sampai di sekolah, kami masuk ke kelas
masing-masing. Tarikan nafas yang berat
mengawali langkahku saat mesuk ke kelas. Di kelasku, terdapat 40 siswa. 20
siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki.
“Pagi Zahra…” sapa Ana teman sebangkuku.
“Pagi juga Ana…” sapaku.
Ana adalah sahabatku. Kami sudah bersama sejak kelas 1
SD. Kami selalu kompak dalam berpikir ataupun menyeleaikan masalah. Tetapi kami
berbeda, Ana adalah anak orang kaya sedangkan aku hanyalah anak orang
sederhana. Tapi aku beruntung memiliki sahabat seperti Ana. Ana tidak pernah
memandangku dari segi derajat. Kami selalu menghargai kekurangan satu sama lain.
Itulah yang membuat kami selalu bersama.
Tengtengteng…
Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama adalah matematika.
Pelajaran yang aku dan Ana sukai. Bu Tiara adalah guru matematika sekaligus
wali kelasku. Bu Tiara adalah guru yang sabar dalam menjelaskan semua materi,
Bu Tiara juga selalu menasehati kami agar tidak malas belajar. Jam pelajaran
matematika kali ini diisi dengan ulangan harian. Alhamdulillah aku mendapat
nilai 100, sedangkan Ana mendapat nilai 95. Selain aku dan Ana ada juga Safira.
Safira juga pintar dalam semua pelajaran khususnya matematika. Tepi karena
kurang teliti Safira mendapatkan nilai 95.
Tengtengteng…
Bel istirahat berbunyi. Tanpa berpikir lama aku membuka
kotak yang berisi kue. Ana adalah pembeli setiaku. Bukan hanya Ana, teman-temanku
yang lain juga membeli kue buatan ibuku. Menurut mereka kue buatan ibuku sangat
enak. Jadi, mereka tidak bosan.
“Zahra
besok bawa kue yang banyak yah!” pinta Ana.
“Pasti
Ana. Besok aku akan membawa kue yang lebih banyak.” Ucapku meyakinkan.
Aku
senang kue yang aku bawa habis. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Kami
melanjutkan pelajaran berikutnya.
Tengtengteng…
Bel
pulang sekolah berbunyi. Aku dan Ana keluar kelas bersama. Sayang Ana sudah
dijemput. Jadi, aku tidak bisa mengajaknya melihat ikan di sungai.
“Zahra…
aku minta maaf ya. Aku sudah dijemput.” Ujar Ana’
“Iya…
hati-hati di jalan yah!” ucapku.
“Pasti.”
Balas Ana.
Awalnya aku ingin langsung pulang ke rumah,
tetapi aku melihat adikku sedang duduk di tepi sungai. Akhirnya aku ikut duduk di tepi sungai. Di tepi
sungai, kami bercanda dan bermain. Setelah puas kami langsung pulang.
“Assalamu’alaikum.”
Ucapku sambil mencium tangan ibu.
“Waalaikummussalam.”
Jawab ibu.
Setelah
melepas sepatu, kami langsung mengganti baju kemudian shalat. Selesai shalat
kami makan siang bersama tanpa ditemani bapak. Aku sangat senang karena ibu
memasak makanan kesukaanku dan adikku yaitu sayur bayam dan tempe goreng.
Meskipun sederhana kami sangat menyukainya.
Waktu
terus berjalan, setelah shalat Magrib dan tadarus kami makan malam bersama. Aku
senang karena ayah dapat ikut makan malam bersama. Setelah makan malam, kami
shalat Isya berjamaah. Seusai shalat Isya, aku dan adikku belajar. Saat kami
belajar, ibu sibuk membuat kue.
Cuit…cuit
Suara
kicauan burung terdengar sangat merdu. Kegiatan dan keadaan hari ini sama
dengan kemarin. Namun ada yang berbeda, hari ini Ana tidak masuk sekolah.
Ternyata Ana sakit. Teman-teman sekelasku berencana untuk menjenguknya.
“Dimana
Ana? Kok tidak kelihatan?” tanya Raka saat istirahat.
“Ana
sakit, Rak.” Jawabku.
“Bagaimana
kalau kita jenguk Ana sesudah pulang sekolah?” tanya Doni menawarkan.
“Jenguk
Ana? Naik apa? Kan rumah Ana jauh…” tanya
Livia.
“Iya
juga sih….Lagian aku juga belum ijin ke orang tuaku.” Jawab Raka.
“Ya
sudah kalau pada gak bisa, biar aku sama Livia yang jenguk Ana. Kan rumah kita
satu komplek.” Jawab Safira.
“Ya
sudah kalau begitu. Oh ya sampaikan salam kita semua ke Ana ya! Bilang juga
cepat sembuh.” Ujar Raka.
Bel
masukpun berbunyi. Pelajaran terus berlanjut. Sampai akhirnya…
Tengtengteng…
Bel
pulang sekolah berbunyi. Hari ini kueku tersisa banyak. Di tepi sungai aku
memikirkan Ana. Tiba-tiba adikku datang untuk menjemputku. Dia mengajakku
pulang karena ibu menunggu kami.
Sesampainya
di rumah…
“Assalamu’alaikum.”
Ucapku.
“Waalaikummussalam…
tumben kuenya tidak habis, kenapa?” tanya ibu.
“Iya
Bu… biasanya Ana yang membeli kuenya, tapi tadi Ana tidak masuk sekolah, jadi
hari ini kuenya tidak habis.” Jawabku lirih.
“Ya
sudah tidak apa-apa kok. Ana sakit? Sakit apa?” tanya ibu.
“Aku
gak tau Bu…” jawabku.
“Kenapa
kamu tidak menjenguknya?” tanya ibu.
“Rumah
Ana jauh, jadi yang menjenguk Ana hanya Safira dan Livia.” Jawabku.
“Oh
ya sudah.” Ucap ibu.
Udara
yang sejuk menemani setiap langkahku. Setelah sampai di kelas, semua temanku
menatapku. Tatapan mereka berbeda, aku takut dan gelisah. Cara bicara merekapun
berbeda. Setelah pulang sekolah Doni menghampiriku.
“Eh
Zahra, ngapain kemu bawa kue lagi?” tanya Doni sambil membentak.
“Apa
maksudmu? Kenapa kamu tanya seperti itu?” tanyaku.
“Alah
gak usah pura-pura gak tau deh. Kamukan yang meracuni Ana?” bentak Doni.
“Meracuni
Ana? Coba kalian pikir, emang ada sahabat yang tega meracuni sahabatnya.” Ujarku
menjelaskan.
“Ya
adalah… kan contohnya kamu.” Ucap Livia.
Seketika
aku terdiam. Tiba-tiba Doni mengambil kotak yang berisi kue. Lalu Doni
membuangnya. Kue-kue itu jatuh dan diinjak-injak oleh teman-temanku. Sungguh
perih hatiku, sampai tak kuat lagi menahannya. Kemudian meneteslah air mataku.
Teman-temanku pergi meninggalkanku. Sambil menangis aku mengambil sisa-sisa kue
yang masih utuh.
Aku
tak mungkin menceritakan masalah ini kepada ibuku. Aku takut ibu terlalu
memikirkan masalahku. Aku takut ibu sakit karena memikirkan masalah ini. Tetapi
aku bingung harus berkata apa ketika ibu bertanya kenapa kuenya berantakan. Tapi
aku punya ide yang bagus, meskipun harus berbohong.
Utung
saja adikku pulang lebih awal sehingga dia tidak tahu apa yang sedang aku
hadapi. Aku merenungkan semua masalahku di tepi sungai. Aku berharap besok saat
aku membuka mata semua masalah akan hilang. Teman-teman yang sekarang
membenciku berubah menjadi seperti semula. Tapi itu hanya hayalanku, mana
mungkin semua masalah akan hilang seketika. Tetapi aku yakin semua masalah ini
akan selesai. Tapi bukan sekarang.
Setelah
merenung di tepi sungai aku langsung pulang. Saat sampai di rumah, ternyata hanya
ada adikku. Kata adikku ibu pergi menjenguk temannya. Akhirnya semua kue yang
ada di kotak aku pindahkan ke tas sekolahku lalu aku ganti dengan uang
simpananku. Rencananya aku akan bilang kalau kuenya habis. Sebenarnya aku tidak
pernah berbohong kepada ibu. Tapi untuk kali ini aku harus melakukannya.
Kemudian
ibu pulang. Ibu langsung membuka kotak kuenya.
“Loh
kok kuenya habis? Bukannya kata Zahra, Ana sedang sakit?” tanya ibu bingung.
“Iya
Bu, kebetulan hari ini teman-temanku banyak yang membeli kue. Jadi, kuenya
habis. Oh ya Bu, besok sepertinya Zahra tidak bisa membawa kue buatan Ibu lagi
ke sekolah.” Jawabku sambil memberitahu ibu.
“Oh
ya sudah kalau seperti itu. Zahra dan Adit sudah makan?” tanya ibu.
“Belum
Bu.” Jawabku.
“Ini
Ibu bawa makanan. Makan yuk!” ajak ibu.
Untunglah
ibu tidak curiga dengan kotak kuenya. Setelah itu kami makan siang bersama.
Matahari
mulai tenggelam. Aku masih memikirkan masalah yang terjadi hari ini. Aku
bingung mau menjelaskan apa ke teman-teman.
Metahari
baru saja menampakkan sinarnya. Setelah sarapan bersama, aku dan adikku pamit
untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa kami melihat ikan-ikan di sungai. Ada
yang berbeda, hari ini air sungainya tampak keruh. Mungkin sama seperti
perasaanku hari ini. Ikan saja dapat merasakan apa yang aku rasakan. Masa, salah
satu dari temanku tidak bisa merasakannya. Aku kan tidak pernah meracuni sahabatku.
Tapi ya sudahlah itulah aku yang sekarang serba salah, padahal aku juga tidak
mengerti Ana sakit karena apa. Aku yakin ini bukan salahku.
Hembusan
nafas hangat dapat aku rasakan saat memasuki kelas. Teman-teman bahkan tidak
menganggapku ada. Mereka terus menjauhiku, sekarang aku berdiri sendiri tanpa
teman-teman yang selama ini menganggapku ada. Rasanya aku ingin sekali meminta
maaf kepada teman-temanku khususnya Ana. Aku takut siapa tau yang dikatakan
Doni benar bahwa Ana sakit karena memakan kue buatan ibuku.
Waktu
terus berjalan tak disangka sudah satu minggu Ana tidak berangkat sekolah. Di
awal minggu ini aku sebelum tiba di sekolah, aku berdo’a semoga hari ini Ana
masuk sekolah. Tiba-tiba ada yang berdiri di belakangku.
“Pagi
Zahra…” sapa Ana
“Ana…
Alhamdulillah kamu sudah sembuh” Ucapku sambil memeluk Ana.
“Gimana
kabar kamu selama satu minggu ini?” tanya Ana.
“Yang
pasti aku kangen banget sama kamu” jawabku sambil mencubit hidung Ana.
Setelah
berbincang-bincang, kami berangkat sekolah bersama. Sebetulnya tadi Ana ke
rumahku, tetapi aku sudah berangkat, karena dia tahu kalau aku suka duduk di
tepi sungai. Jadi, dia menghampiriku.
Akhirnya
kami berangkat sekolah bersama. Sesampainya di kelas…
“Ana,
akhirnya kamu berangkat juga.” Ucap Raka.
“Kita
semua kangen tau sama kamu.” Ujar Doni.
“Loh
kamu kok berangkat sama Zahra?” tanya Raka.
“Emangnya
kenapa? Kita kan emang selalu bersama” tanya Ana bingung.
“Kata
Safira, kamu sakit karena kue buatan ibunya Ana. Apa betul?” tanya Doni
bingung.
“Hah
Safira? Kenapa Safira bicara seperti itu?” tanya Ana bingung.
“Loh
bukannya Safira jenguk kamu ya?” tanyaku lebih bingung.
“Enggak
kok, Safira enggak jenguk aku.” Jawab Ana.
Semua
tampak kebingungan. Akhirnya Safira dan Livia datang…
“Safira,
Livia sini deh aku meu tanya!” ujar Raka.
“Tanya
apa?” tanya Safira dan Livia sambil berjalan menuju ke tempat duduk Raka.
“Ana
sakit karena apaya? Aku kok agak lupa…” tanya Raka pura-pura tidak ingat.
“Ya ampun… itu loh Rak, Ana kan sakit karena makan kue
buatan ibunya Zahra.” Jawab Safira lantang.
“Kapan kamu jenguk aku? “ tanya Ana sambil menuju ke
bangku Raka.
“Loh Ana kamu sudah berangkat?” tanya Livia.
“Kamu belum jawab pertanyaanku!” bentak Ana.
“Eh Safira buruan
jawab!” bentak Doni.
“Sebenernya aku dan Livia enggak jenguk Ana.” Jawab Safira.
“Kalau Kalian enggak jenguk Ana, dari mana Kalian tahu
bahwa Ana sakit karena kue buatan ibunya Zahra?” tanya Raka.
“Jangan bilang kalau kalian bohong.” Sangka Doni.
Safira dan Livia terdiam…
“Iya kami memang berbohong…” ucap Livia.
“Kok
kalian tega sih sama Zahra?” tanya Ana.
“Kami hanya tidak suka kalau Ana selalu dekat dengan
Zahra. Terlebih aku iri dengannya karena nilai ulangan dia selalu lebih tinggi
dariku.” Ucap Safira jujur.
“Ya ampun, tega yah kalian menuduh Zahra.” Ujar Raka.
“Iya. Gara-gara kalian, kita semua menuduh, membuli, dan
menjauhi Zahra.” Ucap Doni menyesal.
“Iya kita memang salah, maka dari itu, kita minta maaf
yah Zahra.” Ujar Safira.
“Iya Zahra, maafin kita yah…” ujar Livia.
Semua temanku meminta maaf kepadaku. Mereka mau mengakui
kesalahan mereka. Sebenarnya Ana sakit tipes. Ana sakit tipes karena waktu
pulang sekolah Ana membeli bakso. Dia juga memasukkan saos yang cukup banyak
ditambah minumnya es. Jadi, itulah yang membuat Ana sakit selama satu minggu.
Akhirnya masalah ini selesai juga. Teman-temanku mau berteman denganku lagi.
Mereka juga mau memaafkan kesalahan Safira dan Livia.
“Oh yah, jangan lupa besok bawa kue lagi ya Zahra!” pinta
Ana.
“Sipp…” jawabku.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar