Jumat, 28 November 2014

Bukan Salahku




          Matahari belum menampakan sinarnya.  Selesai shalat subuh, aku membantu ibu menata kue. Kue yang kami tata akan aku bawa ke sekolah. Setelah selesai menata kue, aku mandi, mengecek buku, dan mengisi air di botol minumku. Meskipun keluargaku hidup sederhana, tetapi kami selalu sarapan bersama. Tak hanya sarapan, terkadang kami makan malam bersama. Di rumah, aku tinggal bersama bapak, ibu, dan adikku. Setelah sarapan aku dan adikku pamit kepada bapak dan ibu. Tak lupa aku membawa kotak yang berisi kue.
            “Assalamu’alaikum.” Pamitku dan adikku kepada bapak dan ibu.
            “Waalaikummussalam.” Jawab bapak dan ibuku.
            Aku dan adikku selalu berangkat sekolah bersama. Sekarang aku kelas 4 SD sedangkan adikku kelas 1 SD. Kita berdua selalu akur meskipun terkadang sering berebut makanan. Sekolah kami tidak terlalu jauh dari rumah. Setiap berangkat sekolah kami selalu berhenti sejenak di tepi sungai. Di sungai, kami selalu melihat ikan dengan ukuran dan jenis yang berbeda. Hidup di pedesaan sangatlah menyenangkan, selain sungai, kami juga dapat melihat pemandangan yang sangat indah.
            Setelah sampai di sekolah, kami masuk ke kelas masing-masing. Tarikan  nafas yang berat mengawali langkahku saat mesuk ke kelas. Di kelasku, terdapat 40 siswa. 20 siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki.
            “Pagi Zahra…” sapa Ana teman sebangkuku.
            “Pagi juga Ana…” sapaku.
            Ana adalah sahabatku. Kami sudah bersama sejak kelas 1 SD. Kami selalu kompak dalam berpikir ataupun menyeleaikan masalah. Tetapi kami berbeda, Ana adalah anak orang kaya sedangkan aku hanyalah anak orang sederhana. Tapi aku beruntung memiliki sahabat seperti Ana. Ana tidak pernah memandangku dari segi derajat. Kami selalu menghargai kekurangan satu sama lain. Itulah yang membuat kami selalu bersama.
            Tengtengteng…
            Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang aku dan Ana sukai. Bu Tiara adalah guru matematika sekaligus wali kelasku. Bu Tiara adalah guru yang sabar dalam menjelaskan semua materi, Bu Tiara juga selalu menasehati kami agar tidak malas belajar. Jam pelajaran matematika kali ini diisi dengan ulangan harian. Alhamdulillah aku mendapat nilai 100, sedangkan Ana mendapat nilai 95. Selain aku dan Ana ada juga Safira. Safira juga pintar dalam semua pelajaran khususnya matematika. Tepi karena kurang teliti Safira mendapatkan nilai 95.
            Tengtengteng…
            Bel istirahat berbunyi. Tanpa berpikir lama aku membuka kotak yang berisi kue. Ana adalah pembeli setiaku. Bukan hanya Ana, teman-temanku yang lain juga membeli kue buatan ibuku. Menurut mereka kue buatan ibuku sangat enak. Jadi, mereka tidak bosan.
“Zahra besok bawa kue yang banyak yah!” pinta Ana.
“Pasti Ana. Besok aku akan membawa kue yang lebih banyak.” Ucapku meyakinkan.
Aku senang kue yang aku bawa habis. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Kami melanjutkan pelajaran berikutnya.
Tengtengteng…
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku dan Ana keluar kelas bersama. Sayang Ana sudah dijemput. Jadi, aku tidak bisa mengajaknya melihat ikan di sungai.
“Zahra… aku minta maaf ya. Aku sudah dijemput.” Ujar Ana’
“Iya… hati-hati di jalan yah!” ucapku.
“Pasti.” Balas Ana.
 Awalnya aku ingin langsung pulang ke rumah, tetapi aku melihat adikku sedang duduk di tepi sungai.  Akhirnya aku ikut duduk di tepi sungai. Di tepi sungai, kami bercanda dan bermain. Setelah puas kami langsung pulang.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku sambil mencium tangan ibu.
“Waalaikummussalam.” Jawab ibu.
Setelah melepas sepatu, kami langsung mengganti baju kemudian shalat. Selesai shalat kami makan siang bersama tanpa ditemani bapak. Aku sangat senang karena ibu memasak makanan kesukaanku dan adikku yaitu sayur bayam dan tempe goreng. Meskipun sederhana kami sangat menyukainya.
Waktu terus berjalan, setelah shalat Magrib dan tadarus kami makan malam bersama. Aku senang karena ayah dapat ikut makan malam bersama. Setelah makan malam, kami shalat Isya berjamaah. Seusai shalat Isya, aku dan adikku belajar. Saat kami belajar, ibu sibuk membuat kue.
Cuit…cuit
Suara kicauan burung terdengar sangat merdu. Kegiatan dan keadaan hari ini sama dengan kemarin. Namun ada yang berbeda, hari ini Ana tidak masuk sekolah. Ternyata Ana sakit. Teman-teman sekelasku berencana untuk menjenguknya.
“Dimana Ana? Kok tidak kelihatan?” tanya Raka saat istirahat.
“Ana sakit, Rak.” Jawabku.
“Bagaimana kalau kita jenguk Ana sesudah pulang sekolah?” tanya Doni menawarkan.
“Jenguk Ana? Naik apa? Kan rumah Ana jauh…” tanya  Livia.
“Iya juga sih….Lagian aku juga belum ijin ke orang tuaku.” Jawab Raka.
“Ya sudah kalau pada gak bisa, biar aku sama Livia yang jenguk Ana. Kan rumah kita satu komplek.” Jawab Safira.
“Ya sudah kalau begitu. Oh ya sampaikan salam kita semua ke Ana ya! Bilang juga cepat sembuh.” Ujar Raka.
Bel masukpun berbunyi. Pelajaran terus berlanjut. Sampai akhirnya…
Tengtengteng…
Bel pulang sekolah berbunyi. Hari ini kueku tersisa banyak. Di tepi sungai aku memikirkan Ana. Tiba-tiba adikku datang untuk menjemputku. Dia mengajakku pulang karena ibu menunggu kami.
Sesampainya di rumah…
“Assalamu’alaikum.” Ucapku.
“Waalaikummussalam… tumben kuenya tidak habis, kenapa?” tanya ibu.
“Iya Bu… biasanya Ana yang membeli kuenya, tapi tadi Ana tidak masuk sekolah, jadi hari ini kuenya tidak habis.” Jawabku lirih.
“Ya sudah tidak apa-apa kok. Ana sakit? Sakit apa?” tanya ibu.
“Aku gak tau Bu…” jawabku.
“Kenapa kamu tidak menjenguknya?” tanya ibu.
“Rumah Ana jauh, jadi yang menjenguk Ana hanya Safira dan Livia.” Jawabku.
“Oh ya sudah.” Ucap ibu.
Udara yang sejuk menemani setiap langkahku. Setelah sampai di kelas, semua temanku menatapku. Tatapan mereka berbeda, aku takut dan gelisah. Cara bicara merekapun berbeda. Setelah pulang sekolah Doni menghampiriku.
“Eh Zahra, ngapain kemu bawa kue lagi?” tanya Doni sambil membentak.
“Apa maksudmu? Kenapa kamu tanya seperti itu?” tanyaku.
“Alah gak usah pura-pura gak tau deh. Kamukan yang meracuni Ana?” bentak Doni.
“Meracuni Ana? Coba kalian pikir, emang ada sahabat yang tega meracuni sahabatnya.” Ujarku menjelaskan.
“Ya adalah… kan contohnya kamu.” Ucap Livia.
Seketika aku terdiam. Tiba-tiba Doni mengambil kotak yang berisi kue. Lalu Doni membuangnya. Kue-kue itu jatuh dan diinjak-injak oleh teman-temanku. Sungguh perih hatiku, sampai tak kuat lagi menahannya. Kemudian meneteslah air mataku. Teman-temanku pergi meninggalkanku. Sambil menangis aku mengambil sisa-sisa kue yang masih utuh.
Aku tak mungkin menceritakan masalah ini kepada ibuku. Aku takut ibu terlalu memikirkan masalahku. Aku takut ibu sakit karena memikirkan masalah ini. Tetapi aku bingung harus berkata apa ketika ibu bertanya kenapa kuenya berantakan. Tapi aku punya ide yang bagus, meskipun harus berbohong.
Utung saja adikku pulang lebih awal sehingga dia tidak tahu apa yang sedang aku hadapi. Aku merenungkan semua masalahku di tepi sungai. Aku berharap besok saat aku membuka mata semua masalah akan hilang. Teman-teman yang sekarang membenciku berubah menjadi seperti semula. Tapi itu hanya hayalanku, mana mungkin semua masalah akan hilang seketika. Tetapi aku yakin semua masalah ini akan selesai. Tapi bukan sekarang.
Setelah merenung di tepi sungai aku langsung pulang. Saat sampai di rumah, ternyata hanya ada adikku. Kata adikku ibu pergi menjenguk temannya. Akhirnya semua kue yang ada di kotak aku pindahkan ke tas sekolahku lalu aku ganti dengan uang simpananku. Rencananya aku akan bilang kalau kuenya habis. Sebenarnya aku tidak pernah berbohong kepada ibu. Tapi untuk kali ini aku harus melakukannya.
Kemudian ibu pulang. Ibu langsung membuka kotak kuenya.
“Loh kok kuenya habis? Bukannya kata Zahra, Ana sedang sakit?” tanya ibu bingung.
“Iya Bu, kebetulan hari ini teman-temanku banyak yang membeli kue. Jadi, kuenya habis. Oh ya Bu, besok sepertinya Zahra tidak bisa membawa kue buatan Ibu lagi ke sekolah.” Jawabku sambil memberitahu ibu.
“Oh ya sudah kalau seperti itu. Zahra dan Adit sudah makan?” tanya ibu.
“Belum Bu.” Jawabku.
“Ini Ibu bawa makanan. Makan yuk!” ajak ibu.
Untunglah ibu tidak curiga dengan kotak kuenya. Setelah itu kami makan siang bersama.
Matahari mulai tenggelam. Aku masih memikirkan masalah yang terjadi hari ini. Aku bingung mau menjelaskan apa ke teman-teman.
Metahari baru saja menampakkan sinarnya. Setelah sarapan bersama, aku dan adikku pamit untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa kami melihat ikan-ikan di sungai. Ada yang berbeda, hari ini air sungainya tampak keruh. Mungkin sama seperti perasaanku hari ini. Ikan saja dapat merasakan apa yang aku rasakan. Masa, salah satu dari temanku tidak bisa merasakannya. Aku kan tidak pernah meracuni sahabatku. Tapi ya sudahlah itulah aku yang sekarang serba salah, padahal aku juga tidak mengerti Ana sakit karena apa. Aku yakin ini bukan salahku.
Hembusan nafas hangat dapat aku rasakan saat memasuki kelas. Teman-teman bahkan tidak menganggapku ada. Mereka terus menjauhiku, sekarang aku berdiri sendiri tanpa teman-teman yang selama ini menganggapku ada. Rasanya aku ingin sekali meminta maaf kepada teman-temanku khususnya Ana. Aku takut siapa tau yang dikatakan Doni benar bahwa Ana sakit karena memakan kue buatan ibuku.
Waktu terus berjalan tak disangka sudah satu minggu Ana tidak berangkat sekolah. Di awal minggu ini aku sebelum tiba di sekolah, aku berdo’a semoga hari ini Ana masuk sekolah. Tiba-tiba ada yang berdiri di belakangku.
“Pagi Zahra…” sapa Ana
“Ana… Alhamdulillah kamu sudah sembuh” Ucapku sambil memeluk Ana.
“Gimana kabar kamu selama satu minggu ini?” tanya Ana.
“Yang pasti aku kangen banget sama kamu” jawabku sambil mencubit hidung Ana.
Setelah berbincang-bincang, kami berangkat sekolah bersama. Sebetulnya tadi Ana ke rumahku, tetapi aku sudah berangkat, karena dia tahu kalau aku suka duduk di tepi sungai. Jadi, dia menghampiriku.
Akhirnya kami berangkat sekolah bersama. Sesampainya di kelas…
“Ana, akhirnya kamu berangkat juga.” Ucap Raka.
“Kita semua kangen tau sama kamu.” Ujar Doni.
“Loh kamu kok berangkat sama Zahra?” tanya Raka.
“Emangnya kenapa? Kita kan emang selalu bersama” tanya Ana bingung.
“Kata Safira, kamu sakit karena kue buatan ibunya Ana. Apa betul?” tanya Doni bingung.
“Hah Safira? Kenapa Safira bicara seperti itu?” tanya Ana bingung.
“Loh bukannya Safira jenguk kamu ya?” tanyaku lebih bingung.
“Enggak kok, Safira enggak jenguk aku.” Jawab Ana.
Semua tampak kebingungan. Akhirnya Safira dan Livia datang…
“Safira, Livia sini deh aku meu tanya!” ujar Raka.
“Tanya apa?” tanya Safira dan Livia sambil berjalan menuju ke tempat duduk Raka.
“Ana sakit karena apaya? Aku kok agak lupa…” tanya Raka pura-pura tidak ingat.
            “Ya ampun… itu loh Rak, Ana kan sakit karena makan kue buatan ibunya Zahra.” Jawab Safira lantang.
            “Kapan kamu jenguk aku? “ tanya Ana sambil menuju ke bangku Raka.
            “Loh Ana kamu sudah berangkat?” tanya Livia.
            “Kamu belum jawab pertanyaanku!” bentak Ana.
             “Eh Safira buruan jawab!” bentak Doni.
            “Sebenernya aku dan Livia enggak  jenguk Ana.” Jawab Safira.
            “Kalau Kalian enggak jenguk Ana, dari mana Kalian tahu bahwa Ana sakit karena kue buatan ibunya Zahra?” tanya Raka.
            “Jangan bilang kalau kalian bohong.” Sangka Doni.
            Safira dan Livia terdiam…
            “Iya kami memang berbohong…” ucap Livia.
“Kok kalian tega sih sama Zahra?” tanya Ana.
            “Kami hanya tidak suka kalau Ana selalu dekat dengan Zahra. Terlebih aku iri dengannya karena nilai ulangan dia selalu lebih tinggi dariku.” Ucap Safira jujur.
            “Ya ampun, tega yah kalian menuduh Zahra.” Ujar Raka.
            “Iya. Gara-gara kalian, kita semua menuduh, membuli, dan menjauhi Zahra.” Ucap Doni menyesal.
            “Iya kita memang salah, maka dari itu, kita minta maaf yah Zahra.” Ujar Safira.
            “Iya Zahra, maafin kita yah…” ujar Livia.
            Semua temanku meminta maaf kepadaku. Mereka mau mengakui kesalahan mereka. Sebenarnya Ana sakit tipes. Ana sakit tipes karena waktu pulang sekolah Ana membeli bakso. Dia juga memasukkan saos yang cukup banyak ditambah minumnya es. Jadi, itulah yang membuat Ana sakit selama satu minggu. Akhirnya masalah ini selesai juga. Teman-temanku mau berteman denganku lagi. Mereka juga mau memaafkan kesalahan Safira dan Livia.
            “Oh yah, jangan lupa besok bawa kue lagi ya Zahra!” pinta Ana.
            “Sipp…” jawabku.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar